Articles
GOCENG
10 September 2020
Giokniwati

Elevasi Insight - Kamis, 10 September 2020 


GOCENG
Oleh Giokni
WTC Writer | Trainer | Coach

Sudah seminggu ini di depan rumah Pak Hasan dihampiri segerombolan ABG (Anak Baru Gede, remaja). Mereka membuat gaduh. Tiang listrik yang berada pas di depan rumah lelaki paruh baya itu, dipukuli berulang-ulang. Dan itu mereka lakukan jam 3 dini hari, saat orang di rumah Pak Hasan sedang di puncak mimpi. Padahal ini bukan bulan puasa.

Pak Hasan sangat terganggu dengan kegaduhan itu. Ia terbangun lebih awal dari seharusnya. Setelah itu, ia sulit tidur lagi. Sampai subuh menjelang, ia terpaksa melek dengan hati jengkel. Dampak lanjutannya, di kantor ia suka mengantuk setelah istirahat siang. Produktivitasnya menurun.

“Ini tidak boleh dibiarkan,” Pak Hasan membatin. Kejadian berulang yang mengusik ini wajib dihentikan. Maka ia mulai mengeluarkan jurus pertama yaitu marah-marah. Esok hari tiba, ritual kembali hadir dan skrip dengan nada tinggi dieksekusi.
“Heeehhhh, kalian mengganggu tidur saya, gak ada kerjaan, pagi buta begini bikin gaduh. Awas besok begini lagi yaaa!!!” teriak Pak Hasan menumpahkan kekesalan yang dipendamnya.

Berharap jurus pertamanya manjur, eh, pada jam yang sama bunyi dentungan tiang listrik kembali membangunkannya. Kali ini jurus ke dua segera diluncurkan yaitu jurus ember! Seember air disiramkam mengguyur basah mereka, “byuuuurrrr”. Sontak mereka tercerai berai berlarian, namun kembali mengerubungi si tiang dan lebih bergembira menabuhnya.

Duduk lunglai di sofanya, Pak Hasan hampir menyerah dengan keuletan bocah-bocah ini, hingga terlintas di pikirannya jurus ke tiga, jurus GOCENG. “Aha! Saya akan hargai mereka dengan GOCENG,” mata Pak Hasan berbinar saat menemukan ide ini.
Tak sabar menantikan fajar tiba, siap dengan selembar uang goceng. Setelah beberapa menit si tiang kembali dipukul-pukul, Pak Hasan keluar rumah dan sambil tersenyum memberikan selembar uang kertas berwarna coklat muda itu, “Nih, buat jajan.” Betapa girangnya mereka sambil segera berlalu. Jurus goceng masih dimainkan seusai grup musik ini mempertontonkan pergelarannya, ada goceng ke dua, goceng ke tiga, goceng ke empat, hingga goceng ke lima. Hari ke enam tiba, Pak Hasan mematikan lampu rumah sama sekali, dia masih terbangun oleh berisik para ABG yang kebingungan karena telah lama menabuh tiang listrik tapi sang penghuni tidak keluar rumah untuk memberikan gocengnya. Mereka berkasak-kusuk “Yah, sudah ngga ada goceng lagi nih, gak seru!” Hanya sebentar mereka memukul tiang listrik kemudian berlalu. Esoknya, mereka masih menanti adakah apresiasi goceng, ternyata hanya sunyi pagi, akhirnya mereka melewati rumah Pak Hasan. Pak Hasan sukses menghentikan aktivitas gaduh di pagi hari cukup dengan modal goceng kali lima, alias jigo (dua puluh [ribu] rupiah).

Anak-anak menjadi tidak bersemangat memukul tiang listrik karena Pak Hasan menghentikan program gocengnya. Sadarkah mereka bahwa pada hari-hari awal pun mereka memukul tiang listrik walaupun tanpa goceng. Sekarang mereka melempem antusiasmenya bahkan menihilkan aksi mereka.

Ilustrasi goceng saya dengar dua puluh lima tahun lalu dari seorang teman dan menyembul keluar saat mendengarkan paparan yang mencerahkan dari Mbak Uti M. Brata-ekonom Indonesia yang berbagi tentang “Mengenali dan Menyikapi Resesi” lewat IG Live Wahyudi Akbar. Beliau mencetuskan kata “keseimbangan baru” atau “new equilibrium”. Mungkin banyak orang—termasuk saya—mengalami perubahan kondisi, melakukan penyesuaian-penyesuaian. Bisa jadi salah satunya adalah berkurangnya penghasilan karena beberapa proyek yang tertunda, perlu melakukan revisi anggaran dan rencana.
Lalu, apakah kondisi ini merenggut suka cita dan rasa syukur kita? padahal saya toh, pernah mengalami kondisi sebelum ada “goceng” dan bersuka cita seraya penuh rasa syukur.

“Ahhh, mungkin Tuhan sedang iseng-iseng, nyobain, apakah kita tetap mencintaiNya, walaupun berkat materi sedang ditunda? Apakah kita hanya terpaut pada uluran tanganNya yang memberi roti, lebih daripada merindukan hatiNya yang mendekap penuh cinta?”

Lepaskan keterikatan pada gocengan kita, yuk.


Elevasi Insight, 
10 September 2020
giokni@elevasi.id
www.elevasi.id

OTHER ARTICLES

The best moments in our lives, are not the passive, receptive, relaxing times—although such experiences can also be enjoyable, if we have worked hard to attain them. The best moments usually occur when a person’s body or mind is stretched to its limits in a voluntary effort to accomplish something difficult and worthwhile. - Mihalyi Csikszentmihalyi, 1990

Momen terbaik dalam hidup kita bukanlah pada saat kita pasif atau santai tapi biasanya terjadi pada saat tubuh dan pikiran kita terentang pada batasnya dengan upaya sukarela (ikhlas) untuk menyelesaikan sesuatu yang menantang dan berarti. - Mihalyi Csikszentmihalyi, 1990

Stay Connected with Us