04 September 2022
Cerahnya matahari pukul tujuh lewat lima menit di bulan Mei sama sekali tidak mencerahkan suasana hati Wanda yang kelabu sejak semalam. Reuni Sekolah Dasar yang digelar setelah tempo memisahkan sewindu lamanya menyisakan satu rasa, sedih. Wanda masih menyesali atas pilihannya untuk datang hanya demi ingin bertemu Sunu. Sejak punya akun media sosial Wanda berulang kali mencari keberadaannya. Nihil. Bahkan di WhatsApp group yang terbentuk bulan lalu yang sanggup mengumpulkan kembali para alumni SD Dian Kasih pun tidak ada namanya.
Sejak sekolah lanjutan alumnus SD Dian Kasih tercerai berai. Salah satunya Sunu. Ia dan keluarganya pindah ke Tunisia mengikuti dinas ayahnya sebagai diplomat. Sunu adalah cinta monyet pertama Wanda. Mereka sering bertulis pesan lewat sticky note yang ditempel di dalam buku catatan yang dipinjam. Dua tahun lalu, setelah lulus kuliah dan diterima di contact center HaloBIRU, Wanda memutuskan untuk tinggal di kost daerah Serpong. Wanda membereskan barang-barang dan menemukan di laci mejanya selembar sticky note pink bertuliskan “Kamu pintar” yang ditulis Sunu. Sticky note itu berakhir di tempat sampah.
Jumat sore Awang menulis teks di WhatsApp grup “SDkitaDK”.
“Bentar lagi gue add Sunu di WAG ini, ye.”
“Gue nemu dia di Blok M barusan, langsung gue samber buat gabung di WAG ini dan langsung deal gabung reunian kita lusa. Sambut dia, bray…”
Dalam sekejab sudah ada 345 pesan yang belum terbaca Wanda di WAG itu. IPhone 6S-nya jarang dipegang karena banyak project yang butuh rapat secara maraton hari ini. Atas berita Jumat sore yang dibawa Awang, bulat tekad Wanda untuk hadir di reuni. Aku mau bertemu Sunu.
-g-
Wanda menghempaskan tubuhnya ke kasur, gaun putih tanpa lengan masih membalutnya hingga Senin pagi. Alarm handphone membangunkannya setiap pukul enam pagi. Kembali terngiang ucapan Sunu, “Oh, kamu cuma jadi operator telepon? Padahal kamu tuh dulu pintar, lho.”
Apa maksudnya kata “cuma”? Apa artinya kata penghubung “padahal”?
-g-
Helm warna hijau itu diserahkan Wanda kepada Gusto-driver GoRide yang mengantar ke Wisma BIRU. Kelabu hati menyertai langkah tak bersemangat memasuki lobby.
“Selamat pagi.”
Wanda tidak menggubris sama sekali sapaan satpam bank BIRU yang super ramah dan antusias. Kalimat yang meluncur ringan dari mulut Sunu itu tidak ringan sama sekali mendarat di pikirannya. Mulailah Wanda memikirkannya berulang, lebih tepatnya, meragukan keputusannya menerima pekerjaan sebagai agent inbound di contact center. “Betul, sih, perusahaannya ternama, milik orang terkaya di Indonesia. Betul, sih, contact center-nya juga berkelas dunia, … tapi kan, akunya cuma operator telepon.” Tengkuk Wanda semakin tertekuk, kepalanya mengarah ke bawah.
“Nyari duit jatuh, Wanda Hamidah?” Panggilan khas dari Asen—supervisor Wanda—mengagetkannya sehingga wajahnya tidak jadi mencium lantai saking menunduknya.
“Eh, Koh.”
“Gimana di layanan Prioritas? Sudah ketemu yang seru-seru?”
“Yang jelas mereka butuh cepat, tepat, dan ekstra, sih, Koh.”
“Tetap semangat ya…, besok kelar shift kita ada meeting IVR baru ya, ingetin Lisbeth,” ucap Asen sambil melangkah keluar di lantai dua.
Elevator chat bersama Asen tadi membantu Wanda untuk breaking state. “Ahh, aku perlu ke toilet dulu untuk berdoa, bagaimanapun hari ini aku perlu melayani nasabah-nasabah istimewaku. Bodo amat, ah, omongan orang.”
Pulasan bibir warna shocking fucshia menjadi langkah pamungkas rias wajah Wanda. Warna itu dipilih untuk membangun state percaya diri sekaligus cerah ceria. Merebut kembali kecerahan pagi yang terabaikan tadi. Setelah memohon damai sejahtera menggantikan kelabu kalbu di dalam bilik toilet, Wanda melangkah pasti menuju ruang lockertempat menyimpan barang pribadinya. Digantinya sepatu dengan sandal empuk dan siap mengikuti briefing tim. SAPI—Sarapan Pagi—sebutan untuk acara briefing pagi ini tentang tentang program preview promo tiket Singapore Airlines di empat mal besar di Jakarta bagi nasabah Prioritas menjelang liburan sekolah. Menuju meja nomor tujuh, state Wanda sudah tertata dengan baik, state fokus dan enjoy, terbukti Lisbeth—Team Leader-nya—sama sekali tidak memberi umpan balik seperti Asen tadi.
Wanda mengenakan peralatan telefoninya, sign-in ke dalam aplikasi canggih dari jenama besar di industri contact center dan siap untuk mengambil panggilan masuk. Dia berhasil meninggalkan state pagi hari tadi yang sungguh tidak memberdayakan. Pelanggan pertama disapanya, “Good morning, HaloBIRU, Wanda’s speaking, may I help you?”Good morning
“Help me, please. My daughter ran away after fighting with me yesterday. Help me, please.”
Suara sedih bercampur memelas di ujung telepon berasal dari nasabah Prioritas dengan aksen Australia.Telinga Wanda sangat kenal dengan aksen itu karena dia sering bercakap dengan Ms Bellette—misionaris dari Sydney di gerejanya. Daughter terdengar di telinga sebagai ‘do-tha’.
Sigap sekali Wanda membuka aplikasi Customer Relationship Management dan dari nomor panggilan nasabah langsung dapat diketahui siapa nama nasabah beserta data lainnya.
“Ms Christine, I am so sorry to hear it. I’d like to help you.”
Kalimat kesediaan membantu mengalir begitu saja, tergerak dari hati Wanda.
“My daughter is Bella, thirteen years old. She brought my Platinum debit card.”
“Ok, Ms Christine, so, do you want to block this card?”
“No, no need. Just track the usage to find her, please. I am very regret about that fighting… I was too hard to Bella. Help me, please.”
Ya, ini pula yang dipikirkan Wanda sebagai ide awal, lacak penggunaan kartunya.
“Will do, Ms Christine. Yes, we can track the location, do believe we can find Bella soon. Yes, I can feel your feeling. To make sure the tracking, can you send Bella’s picture through email? It will useful in CCTV verification.”
“Sure.” Suara Christine sudah normal, bahkan sangat tenang.
Setelah memberi tahu alamat email langsung team leader—Kak Lisbeth—Wanda pun memberi tahu tentang konsekuensi kartu debit yang berpindah tangan. Langkah selanjutnya memberi keterangan pada tiket pelaporan “HIGH PRIORITY”.
Saatnya bergerak, gak bisa lambat lambat. Bak seorang detektif yang mendapatkan pesanan proyek investigasi senilai milyaran rupiah, Wanda bergerak cepat. Dia mengaktifkan aux-mode yang berarti Wanda tidak tersedia untuk menerima panggilan masuk, segera melangkahkan kaki menuju ke meja Lisbeth.
“Kak, urgent nih, Kak, tolong cek email Kakak, ada kiriman foto anak hilang dari nasabah, Ms Christine. Status pelaporan ku-set high priority. Minta tolong di-broadcast ke tim manajemen ya, Kak, biar bisa dipercepat.”
“Aku cek.”
Lisbeth membuka aplikasi, sambil aku terus memberi laporan secara runut, tegas dan jelas. Wahyu yang duduk di samping Lisbet berkomentar, “Jadi Kapolsek, Wanda?”
“Duduk, Nda.”
“Menurutmu apa yang perlu kita lakukan?”
Lisbeth adalah team leader idaman bagi banyak agent karena selalu mengajar anggota timnya untuk berpikir terlebih dahulu.
“Kita perlu cek mutasi rekening Ms Christine, dari keterangan bisa ketahuan dipakai dimana saja, misalnya dipakai untuk belanja di minimarket, resto, atau hotel, semoga saja juga untuk transaksi di ATM. Nah, ATM kan ada nomor ID-nya yang berarti kita tahu lokasinya. Buat memastikan, kita bisa minta vendor ATM buat ngecek CCTV-nya, makanya tadi aku minta foto anaknya biar kita bisa verifikasi wajah.”
Lisbeth takjub mendengar pemaparan Wanda yang gamblang. Bocah ini memang calon pengganti kalau aku promosi jadi Supervisor. Mata Wanda berbinar melihat Lisbeth membuat pesan “OK” dari gestur jemari tangan kanannya. Namun perasaan bergejolak, sedih dengan kasus Ms Christine mampu memompakan adrenalin dalam tubuh Wanda.
“Yuk, kita bagi tugas tracking. Kamu cari data dari mutasi rekening, aku cek BASE24 buat transaksi di mesin ATM.”
“Siap, Kak.”
Setengah berlari Wanda kembali ke meja kerjanya. Herry yang ada di meja nomor enam sampai menoleh dan meliriknya dengan wajah penasaran.
Wanda mencatat disertai berbisik, “Apotek Kimia Farma, Union, Otten Coffee, Indomaret, tarik tunai, yesss!”
Wanda beranjak dari kursi dan kembali menemui team leader-nya.
“Kak, ada Union dan Otten Coffee, Union ada di Plasa Senayan dan ini Otten Coffee pasti di Senopati, pasti Bella ada di area JakSel nih. Ada belanja di Indomaret dan tarik tunai, mungkin di toko Indomaret itu, Kak. Gimana temuan Kak Lisbeth?”
“Yes, klop. Ketauan WS ID-nya, aku segera minta Bu Angie buat kontak langsung Bu Elsa vendor agar cek CCTV-nya diprioritaskan.”
“Kak Lisbeth, aku boleh hubungi Ms Christine untuk update bahwa kita sudah ketemu titik terang agar dia tenang dan tetap menunggu kepastian dari kita?”
“Ya, lakukan.”
Wanda memberitahukan temuan pelacakan mereka dan akan berjanji akan mengonfirmasi kembali hasil temuan kamera CCTV untuk memastikan bahwa penarik uang tunai adalah Bella.
“Thanks so much, dear… Yes, I’ll wait for the CCTV to make sure that Bella is well there.”
“We’ll make it as fast as possible and back to you, Ms Christine.”
“God bless you, Wanda.”
Ucapan berkat yang diucapkan secara tulus dari seorang nasabah yang sedang memiliki masalah benar-benar sangat menyentuh hati Wanda. Adrenalin tadi berangsur menurun levelnya walaupun masih ada penasaran menunggu wajah Bella dari rekaman CCTV.
Wanda kembali melayani panggilan masuk dari nasabah-nasabah Prioritas dan nasabah warga negara asing yang banyak hendak memanfaatkan benefit promo tiket SQ yang memang sangat menguntungkan. Sampai pada pukul sepuluh lewat sepuluh ada pop-up pesan dari Lisbeth untuk ke mejanya. Wanda mengaktifkan status aux-mode kembali.
Bergegas Wanda menghampiri meja team leadernya. Wahyu kembali berkomentar, “Sekarang Kapolri, nih.”
“Wanda, nih, sudah dapat foto rekaman CCTV dari vendor. Betul, Bella yang narik duit di ATM.”
“Puji Tuhan…” Wanda menepuk dada dengan tangan kanannya sebagai penanda lega.
“Sudah kukirim juga ke email Ms Christine. Sebaiknya kamu lagi yang call Ms Christine untuk berkabar.”
“Siap, Kak.”
Misi hampir selesai. Christine hendak mencari ke rumah teman Bella yang di daerah Senopati. Wanda berdoa agar Tuhan segera pertemukan keduanya dan Ibu—anak ini kembali berbaikan.
Pop up pesan muncul kembali di layar komputer Wanda sepuluh menit sebelum Wanda hendak jeda rehat makan siang sesuai jadwal agar memenuhi target Adherence to Schedule, yaitu ketepatan aktivitas agent sesuai jadwal yang ditetapkan oleh tim Work Force Planning. Hari ini benar-benar penuh kejutan. Bunyi pesannya “Nanti siang diajak makan siang Bu Reni.” Reni adalah Operations Manager yang sudah sering berbicara di ajang contact center internasional.
---
Awalnya Wanda sangat canggung semeja makan bersama Reni. Perempuan berperawakan mungil tapi cabe rawit karena sangat diandalkan dalam mengurus HaloBIRU. Sebagai orang kedua—setelah Wani Tanaka—di contact center besar ini, Reni dikenal sangat tangkas baik dalam kolaborasi internal maupun dengan pemangku kepentingan lain. Tak heran kasus nasabah berjudul “Kehilangan Anak” ini pun menjadi cepat tuntas oleh ketangkasannya.
Keberadaan Lisbeth membuat Wanda lebih nyaman. Ternyata ada Asen dan Wahyu di acara makan siang bersama di meja oval yang biasa dipakai untuk rapat kalibrasi bersama tim Quality Assurance.
“Jabatan Wanda apalagi, nih, dari Kapolsek, lalu Kapolri ditambah apa lagi…?”
“Sherlock Holmes,” imbuh Asen.
“Makasih ya, karena kamu, jadi siang ini saya ikutan dijamu sama Bu Reni.” Asen menyomot sepotong red velvet cake sebelum semua makanan di atas meja dibereskan oleh Puspa—asisten domestik HaloBIRU.
“Baik, mari kita mulai selebrasi kita.” State Bu Reni berganti serius setelah setengah jam tadi yang diobrolkan hanya berkisar santapan-santapan di atas meja.
“Wanda, atas nama manajemen HaloBIRU, kami mengucapkan terima kasih. Kami bangga memiliki agent yang cerdas, tangkas, dan tuntas. Teutama agent yang mencerminkan perilaku Service with Golden Heart yang sering dipesankan oleh Pak Hartono CEO kita.”
Wanda merinding, bibirnya menyungging senyum, matanya beberapa kali mengarah kepada Lisbeth. Lisbeth mengangguk-angguk dan tersenyum. Canggung kembali mendera. Menurut Wanda, dia tidak kerja sendiri.
Reni melanjutkan, “Kasus pagi ini tentang “Anak Hilang” telah menjadi trending topik di WAG manajemen HaloBIRU hari ini. Saling dukung dipertontonkan. Nyata, bukan slogan semata. Angie-OM punya great relationshipdengan mitra, Lisbeth team leader yang jago meng-empower team member-nya. Lisbeth, jelaskan tentang email terakhir.”
“Thanks, Bu Reni. Wanda, setelah kamu menghubungi Ms Christine tentang wajah Bella di CCTV Indomaret JakSel, sejam kemudian Bu Christine email, sekaligus kirim fotonya sedang memeluk Bella yang ditemukan di rumah temannya di Senopati. Dia mohon disampaikan ucapan terima kasih atas layananmu yang beyond excellence, katanya. Dan dia kirimkan red velvet cake dua loyang, satu untukmu dan satu untuk dibagi ramai-ramai. Jadi tuh, masih ada satu box khusus untukmu.”
Mulut Wanda melongo, matanya hangat, hatinya sungguh sangat tersentuh, bahagia terutama pada bagian foto Christine memeluk Bella. Ada setitik air di ujung kedua matanya.
Mata Lisbeth memberi kode kepada Bu Reni untuk gantian berbicara.
“Nah, sebulan lalu kami tim manajemen menggodog program apresiasi bagi para agent yang memberi layanan excellence bagi nasabah. Rencana akan kami launching minggu depan, tapi tadi kami memutuskan untuk mempercepatnya.”
Asen menghampiri Reni dengan sebuah kotak hitam. Wanda semakin bergetar dengan kejutan dan rasa penasaran. Asen membuka dan menyerahkan isinya kepada Bu Reni.
“Headset emas!”
Suara tepuk tangan dari para hadirin di meja oval menggema.
“Akan dipakai selama seminggu untuk online oleh service hero sehingga akan menjadi inspirasi bagi teman-teman agent lainnya.”
“Dan, namamu akan terpampang di screen LCD di area kerja, plus satu kali kesempatan makan siang bersama Bu Wani dan setengah jam mentoring dengan beliau.” Asen yang masih berdiri bersama Reni ikut menambahkan dosis surprise sekaligus rasa bersalah dalam diri Wanda.
“Ada sepatah dua patah kata?” Bu Reni memberi gestur tangan mempersilakan kepada Wanda.
“Saya mau nangis. Saya seperti naik roller coaster, saya seperti kesamber geledek, saya merinding seperti masuk ke rumah hantu di dufan.” Pipi Wanda benar-benar basah.
“Apakah saya layak menerima ini… ? Tadi pagi saya datang ke kantor tanpa semangat, saya sedang down, teman yang saya temui semalam di reuni SD mengolok pekerjaan saya, yang cuma operator telepon.”
Seisi ruangan hening, mereka seperti sedang mendengarkan Oprah Winfrey memberikan speech atau Martin Luther King Junior sedang berorasi.
“Di toilet pagi ini saya berdoa, saya mengganti state saya, saya fokus dan saya enjoy. Tiba-tiba call pertama saya kasus Ms Christine-Bella. Semua terjadi begitu saja dan begitu cepat. Adrenalin, harapan, doa, usaha, pertolongan, kerja sama, kepedulian, support, entah apa lagi variabel dari peristiwa Ms Christine. Puji Tuhan…. Terima kasih.”
Saat Wanda mengambil jeda, ruangan pun hening, semua menyimak.
Asen bergegas mendekati Wanda, memasangkan headset emas. Lisbeth mengunjukkan tissue untuk menyeka air mata Wanda. Wahyu tak mau kehilangan momen istimewa itu dengan memotret menggunakan iPhone barunya. Reni terpaku pada posisinya.
---
Wanda mengelus meja nomor tujuh beberapa kali sebelum ditinggalkannya sore itu. Dia kaget saat hendak menuju locker dan menemukan ada foto dirinya yang sedang dikenakan headset emas di layar LCD oleh Asen. Besok dia akan memakainya selama bertugas. Ada teks “HaloBIRU Service Hero edisi 1 – “The Lost Daughter”-Wanda Tanoto”
Sore ini, di belakang Ajo, driver GoRide, pikiran Wanda seperti terus menerus diketuk oleh sebuah pertanyaan. “Jika hidupmu adalah jawaban, apakah pertanyaannya?”
Kalimat-kalimat Ms Christine di telepon hari ini terngiang “Help me, please.” Jadi, “Siapakah aku?”
Tidak ada kunci jawaban yang pasti akurasinya. Yang pasti adalah pikiran dan perasaan Wanda menjadi lega. Operator telepon? Tak apa-apa, terserah nama jabatan apa yang mau diberikan. Percakapan internal itu mencerahkan batin dan meringankan beban.
“Sudah sampai, Non.”
------g-------
Jakarta, 10 April 2022
Topik utama dari cerita pendek “Jika Aku Jawaban” diangkat dari pengalaman pelayanan yang diberikan oleh Contact Center HaloBCA.
Dituliskan oleh Giokniwati, seorang WTC2 [Writer-Trainer-Coach & Consultant]