Articles
YANG MASIH DIPUNYA
02 October 2020
Giokniwati

Elevasi Insight - 02 Oktober 2020 


YANG MASIH DIPUNYA

Oleh Giokni

WTC Writer | Trainer | Coach

 

Dari jarak lima meter sudah tertangkap oleh mata, ada 3 orang dari arah berlawanan. Segera otak mencari strategi, memerintahkan kaki untuk bergeser ke kiri dan bersiap memberi jalan agar tidak bersenggolan saat berpapasan.

Demikian saat kami hendak meminta permisi kepada kru fotografer yang sedang memotret sepasang pengantin. Otak bekerja dengan penuh kesadaran bagaimana cara melewati beberapa orang itu. Rasa waspada dan sedikit cemas menyelusup hanya untuk sekedar saling berbagi atau meminta jalan. Dulu tidak perlu berpikir sedemikian penuh kesadaran untuk hal-hal seperti ini.

Dua kejadian pagi ini seperti menyuruhku untuk merenungkan, syukur yang tak sempat terpanjatkan saat kita bebas leluasa bahkan bisa saling mendekat, berjabat tangan, bahkan berpelukan. Saat ini sikap respek justru diungkapkan dengan “Aku menjaga cukup jarak denganmu.” 

Sore hari kami memesan piza margarita yang sangat berlimpah dengan pasta tomat, diselingi mozarella leleh dengan wangi daun basil. Fresh from the oven! Jeprettt! Prosedur pertama dilakukan, difoto. Wanginya saja sudah membuat saya berucap, “Terima kasih, Tuhan,” dan setelah hidung membaui, giliran lidah sebagai pengecap. Dia merasakan komposisi yang seimbang antara lembutnya toping dan kriuknya pinggiran, asamnya tomat, gurihnya keju, eksotiknya rempah daun, sedikit sangitnya adonan yang agak gosong. Seperti diingatkan, “Hi, bukan hanya soal bisa membeli piza, tapi juga soal bagaimana lidahmu masih bisa berfungsi.” 

“Puji Tuhan, hari ini aku masih diberi kesempatan untuk bisa bilang “Ini ueeenakkk, jauh lebih enak dari pizzanya X, Y, atau Z.” 

Saya tidak mau melewatkan alasan bersyukur yang satu ini, dan sudahlah tidak perlu dikeluhkan yang soal keterbatasan di alinea pertama tadi. Jalani saja masa ini, tetap ada syukur. Justru saat ada keleluasaan yang dibatasi atau bahkan diambil—bagi teman-temanku yang sedang mengisolasi diri atau dirawat, mungkin inilah saat untuk menyadari YANG MASIH DIPUNYA. Kita masih SESEORANG yang PUNYA SESUATU, apapun sesuatu itu, jika dicari pasti akan ditemukan. 

Sesekali mulut kita keceplosan mengeluhkan yang hilang, menyesalkan yang lepas, tapi bukankah masih banyak yang masih dinikmati dan dipunya? Dan yang terhakiki, saya adalah saya, saya memiliki diri ini, saya berharga sebagai ciptaanNya dengan atau tanpa semua kebendaan dan kebisaan.

Sebuah kutipan tanpa nama saya temukan. “An attitude of gratitude. This is not only a great rhyme but a great way to live.” Sebuah sikap bersyukur, bukan hanya sebuat nada lagu yang indah, namun sebuah cara hebat untuk hidup. Hm, jadi mau tau cara untuk hidup? Ya, bersyukurlah! Itu dipermudah dengan fokus pada “Yang masih dipunya.”

 

Elevasi Insight, 

30 September 2020

giokni@elevasi.id

WA 08158182188

www.elevasi.id

OTHER ARTICLES

The best moments in our lives, are not the passive, receptive, relaxing times—although such experiences can also be enjoyable, if we have worked hard to attain them. The best moments usually occur when a person’s body or mind is stretched to its limits in a voluntary effort to accomplish something difficult and worthwhile. - Mihalyi Csikszentmihalyi, 1990

Momen terbaik dalam hidup kita bukanlah pada saat kita pasif atau santai tapi biasanya terjadi pada saat tubuh dan pikiran kita terentang pada batasnya dengan upaya sukarela (ikhlas) untuk menyelesaikan sesuatu yang menantang dan berarti. - Mihalyi Csikszentmihalyi, 1990

Stay Connected with Us