Articles
Tak Apa
20 March 2020
Giokniwati

Elevasi Insight - 20 March 2020 


“TAK APA” 
 
Berada di teras balkon lantai lima pukul 05.40 disambut oleh kabut putih pekat, menit demi menit si halimun perlahan mulai menipis sehingga mata sudah dapat melihat hijaunya pohon berjarak sepelemparan batu. Di belakangnya deretan pohon kelapa menjulang tinggi, tertangkap bentuknya tanpa jelas warnanya, di belakangnya lagi ada garis sedikit melengkung dengan lekuk naik turun di ujungnya bagai melihat grafik pergerakan harga saham dalam kondisi normal.
 
Saya menarik nafas dalam, mata menangkap obyek visual dan mulailah beberapa makna menyusup ke dalam pikiran tentang hidup, tentang kehidupan.
 
Ada banyak hal terjadi seperti matafora di atas. Hanya kabut dan ketidakjelasan sehingga tak ada yang dapat dikata tapi sesungguhnya dapat dirasa seperti saya merasakan kesejukan hawa pegunungan ini. Menghirup udara sejuk dan bersih tanpa polusi sungguh menyegarkan, sembari memberi makna “syukur atas oksigen yang masih gratis” membantu membangun state yang positif, rileks, bahkan bibir menyunggingkan senyum. 
 
Waktu berjalan… pandangan mulai jelas, perlahan mulai terlihat obyek di depan satu per satu. Dari tak tahu mau berbuat apa, maka mulai ada langkah-langkah kecil yang dapat diambil dan dikerjakan, walau masih ada obyek remang-remang yang hanya bisa ditebak dan diraba.
Tak apa… itu sudah cukup untuk membuat punya keyakinan beberapa langkah atau hanya sekedar selangkah di depan.
 
Setelah kalimat terakhir di atas, seperti ada pemberontakan kecil yang memintaku kembali untuk menengok…pada kata “TAK APA…” Mengapa? Karena sikap “tak apa” ini sesungguhnya tidak mudah dilakoni tapi sesungguhnya inilah yang sangat perlu kita bangun dan miliki terutama saat ini di kala banyak kabut menyelimuti. Kata atau frasa “tak apa”, “wes ben”, “pasrah”, “ikhlas”, “berserah”, sesungguhnya didahului oleh sikap ACCEPTANCE, PENERIMAAN, dan penerimaan membutuhkan hati yang laaaaaaapaaang, membutuhkan kerelaan melepas, “ora ngekepi” (Jawa= tidak memegang erat-erat). 
 
Virus tak kasat mata ini telah membuat perubahan pada dunia, di semua aspek dilakukan penyesuaian, pasti ada gejolak dalam diri, ada kegagapan dalam bertindak, ada mimpi kita yang mungkin perlu kita bisiki, “Yuk, kita slow down dulu, ya… tetap optimis, jalannya bisa berbeda, agak berkelok sedikit, agak ngerem sedikit, atau mandeg ngaso dulu sesaat.”
 
Yuk belajar untuk bilang “TAK APA” pada apa pun yang tak seperti harapan di masa lalu, kita buat harapan baru, seperti saat matahari mulai terbit maka bukit Menoreh semakin tampak keperkasaannya. 
 
Penulis,
Giokni
WTC | Writer-Trainer-Coach
 
Elevasi Perofrma Insani 
WA 08158182188
Instagram: elevasi.id
Facebook Fan PAge: elevasi.id 
giokni@elevasi.id
 
OTHER ARTICLES

The best moments in our lives, are not the passive, receptive, relaxing times—although such experiences can also be enjoyable, if we have worked hard to attain them. The best moments usually occur when a person’s body or mind is stretched to its limits in a voluntary effort to accomplish something difficult and worthwhile. - Mihalyi Csikszentmihalyi, 1990

Momen terbaik dalam hidup kita bukanlah pada saat kita pasif atau santai tapi biasanya terjadi pada saat tubuh dan pikiran kita terentang pada batasnya dengan upaya sukarela (ikhlas) untuk menyelesaikan sesuatu yang menantang dan berarti. - Mihalyi Csikszentmihalyi, 1990

Stay Connected with Us